Tauhid adalah pegangan pokok dan sangat menentukan bagi kehidupan manusia, karena tauhid menjadi landasan bagi setiap amal yang dilakukan. Hanya amal yang dilandasi dengan tauhid lah, menurut tuntutan Islam, yang akan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang baik dan kebahagiaan yang hakiki di alam akhirat nanti.
Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan) Nya, dan wahdaniyah (keesaan) Nya, dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan Sifat-Nya.
Iblis mempercayai bahwa Tuhannya dalah Allah, bahkan mengakui keesaan dan kemahakuasaan Allah dengan meminta kepada Allah melalui Asma’ dan SifatNya. Kaum jahiliyah kuno yang dihadapi Rasulullah, juga meyakini bahwa Tuhan Pencipta, Pengatur, Pemelihara, dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagi makhluk yang berpredikat muslim, yang beriman kepada Allah.
Tauhid, secara bahasa berasal dari kata “wahhada-yuwahhidu” yang artinya menjadikan sesuatu satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa), tidak bersekutu, berbilang, berbagi, dan tidak terdiri dua, tiga bagian atau lebih.Meyakinkan bahwa Allah adalah “satu” dan tidak ada yang menyerupai-Nya[1]. Secara istilah syar’I, tauhid berarti mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asmaul Husna (nama-nama yang Bagus) dan Shifat Al-Ulya (sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan cacat. Mengakui dari hatinya, lisannya serta perbuatannya. Tauhid juga merupakan pemurnian ibadah kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut pada-Nya.
Ternyata kita dapati para ulama terdahulu jauh sebelum Ibnu Taimiyyah telah membagi tauhid menjadi tiga. Hal ini jelas membantah pernyataan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah kreasi Ibnu Taimiyyah rahimahullah di abad ke-8 hijriyah. Syaikh Abdurrozaq hafizulloh telah menukil perkataan para ulama salaf jauh sebelum Ibnu Taimiyyah yang membagi tauhid menjadi tiga. Diantara para ulama tersebut adalah:
Al-Imam Abu Abdillah ‘Ubaidillah bin Muhammad bin Batthoh Al-‘Akburi yang wafat pada tahun 387 H, dalam kitabnya “Al-Ibaanah”.
Al-Imam Abu Yusuf yang wafat pada tahun 395 H dalam kitabnya “At-Tauhid”.
Al-Imam Abu Yusuf yang wafat pada tahun 182 H. Secara bahasa, Rububiyyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan dengan penggunaan yang hakiki dan juga digunakan untuk yang lain secara majazi atau idhafi, dan tidak untuk yang lain. Makna majazi diambil dari kata majaz yaitu kata yang digunakan pada makna yang bukan makna aslinya. Sedangkan idhafi disini maksudnya yaitu menerangkan makna kata dari “Rabb” bahwa kata Rabb itu kata yang benar dan nyata untuk idhafi. Dari beberapa arti kata rabb tersebut dibentuk kata rububiyyah, yang berarti Mencipta, memberi rezeki, memiliki, menguasai, mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Dan karena Allah adalah Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, wajib mengesakan-Nya dalam ketuhanan, dan tidak menerima adanya sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluk-Nya.
Secara istilah, Tauhid Rububiyyah ialah suatu kepercayaan, bahwa yang diciptakan alam dunia beserta seisinya ini, hanya Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada, tidak berada dengan sendirinya tetapi ada yang menciptakan dan ada pula yang menjadikan yaitu Allah SWT. Allah Mahakuat, tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Maka timbullah kesabaran bagi makhluk, untuk meng-agungkan Allah, makhluk harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut Tauhid Rububiyyah. Jadi Tauhid Rububiyyah ialah Tauhid yang berhubungan dengan soal-soal ketuhanan. Dengan kata lain, Tauhid Rububiyyah ialah meyakini bahwa tidak ada yang membuat, mengurus, dan mengatur semua makhluk ini selain Allah SWT[2].
Prof. Dr. Syeikh Mahmud Shalut menyebutkan dalam bukunya bahwa tauhid rububiyah dengan pengertian, hanya Allah yang menciptkan, mengurus dan mengendalikan alam semesta ini[3]
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (Al-An’am:1)
Maka usaha pertama dalam mengi’tiqadkan Allah dengan sempurna dan mendalam, ialah dengan memahami isi Al-Qur’an. Dalam memahami Al-Qur’an terdapatlah petunjuk-petunjuk yang menyatakan agar kita memahami isi alam sekitarnya. Memahami alam ini adalah dengan melihat secara langsung akan makhluk Allah, lalu menumbulkan keyakinan akan penciptanya, Allah Yang Maha Besar.
Sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan tauhid bukanlah semata-mata mengetahui bahwa Allah swt yang menciptkan alam semesta. Iblis sudah mengetahui ke-Esaan Allah jauh sebelum manusia diciptakan dan sebelum nabi dan rasul diutus. Ternyata sekalipun iblis sudah mengetahui ke-Esaan Allah sebagai pencipta, iblis tetap dicap sebagai makhluk yang tidak bertauid atau kufur (Q.S. al-Baqarah: 34). Begitu pun kaum musyrikin Arab juga mengetahui bahwa hanya Allah semata pencipta segala sesuatu, namun demikian mereka tetap saja musyrik (tidak bertauhid)[4]
Kita telah mengetahui bahwa Allah itu Maha Pencipta. Tapi apakah kita tahu mengapa Allah menciptakan malaikat padahal Allah itu juga Mahakuasa. Allah menciptakan malaikat bukan hanya sekedar pelengkap saja, atau bukan sebagai pembantu Allah karena Allah kualahan dalam tugas. Misalnya saja malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu kepada nabi dan rasul. Jika Allah yang secara langsung turun ke bumi untuk menyampaikan kepada nabi dan rasul, maka manusia tidak akan sanggup melihat Allah secara langsung. Karena Allah itu Maha Sempurna.
Secara Bahasa, Uluhiyah kata nisbat dari Al Illah, yang berarti Tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan Uluhiyah berati Mengakui dan meyakini allah sebagai satu-satunya Tuhan. Secara istilah, Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah dengan segala yang disyariatkan-Nya, agar kita beribadah kepada Allah dengan amal-amal hati dan anggota badan dan tanpa mempersekutukan Allah dengan apa pun dalam ibadah-ibadah itu dan tidak baik mengakui adanya ibadah selain kepada Allah. Segala macam ibadah yang lahir dan yang batin, yang berupa perkataan dan perbuatan, dan meniadakan peribadatan dari segala sesuatu selain Allah apapun wujudnya[5]
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra’:23)
Apakah yang dinamakan ibadah itu? Ia bukan salat, zakat, puasa dan haji saja. Kalau hanya itu saja ibadat, belum sempurna. Maka yang dinamakan ibadah itu bukan saja yang terhimpun dalam rukun islam yang 5 saja, tetapi seluruh amal perbuatan baik yang dikerjakan hanya karena Allah, dan meninggalkan segala perbuatan buruk hanya karena Allah pula. Inilah yang dinamakan ibadah[6]
Tauhid Uluhiyah dalam beberapa hal dibuktikan dengan memperhatikan Tauhid Rububiyah, yang sudah terang dapat diterima oleh perasaan kemanusiaan dan diakui oleh manusia ketika menghadapi beberapa peristiwa dalam hidup ini[7].
Secara bahasa, Asma’ merupakan jama’ dari kata Ismun yang berati Nama. Sedangkan Shifat merupakan jama’ dari kata Shifatun yang mempunyai makna sifat. Adapun secara istilah, Tauhid Asma’ Wa Shifat ialah suatu keyakinan yang menetapkan al-asma’ulhusna (nama-nama yang terbaik) dan sifat-sifat luhur, dan memperlakukannya sebagaimana ia datang dengan tidak mempersoalkan bagaimananya[8]. Dan meniadakan sekutu baginya dalam asma-asma-Nya, tidak menyerupakan-Nya atau menghilangkan sifat-sifat-Nya.
Dari penjelasan diatas, maka kita dapat menyimpulkan perbedaan dari masing-masing pembagian tauhid yaitu, bahwa yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan pernyataan yang tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Tuhan, raja, pencipta semua makhluk. Dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin. Sedangkan Tauhid Al-Asmaa Wa As-Sifaat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dengan nama dan sifat yang telah Ia tetapkan bagi dirinya dalam Al Qur’an dan hadis. Bertauhid nama dalam sifat Allah ialah dengan cara menetapkan nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi dirinya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari dirinya dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (Al-A’raf: 180)
Ada sepuluh prinsip dasar untuk mengetahui Dzat Allah dan bahwa Allah SWT Maha Esa, yakni sebagai berikut:
Tauhid bukan sekedar mengenal dan mengerti bahwa pencipta alam semesta ini adalah Allah, bukan sekedar mengetahui bukti-bukti rasional tentang kebenaran wujud (keberadaan) Nya, dan wahdaniyah (keesaan) Nya, dan bukan pula sekedar mengenal Asma’ dan Sifat-Nya.
Iblis mempercayai bahwa Tuhannya dalah Allah, bahkan mengakui keesaan dan kemahakuasaan Allah dengan meminta kepada Allah melalui Asma’ dan SifatNya. Kaum jahiliyah kuno yang dihadapi Rasulullah, juga meyakini bahwa Tuhan Pencipta, Pengatur, Pemelihara, dan Penguasa alam semesta ini adalah Allah. Namun, kepercayaan dan keyakinan mereka itu belumlah menjadikan mereka sebagi makhluk yang berpredikat muslim, yang beriman kepada Allah.
Tauhid, secara bahasa berasal dari kata “wahhada-yuwahhidu” yang artinya menjadikan sesuatu satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa), tidak bersekutu, berbilang, berbagi, dan tidak terdiri dua, tiga bagian atau lebih.Meyakinkan bahwa Allah adalah “satu” dan tidak ada yang menyerupai-Nya[1]. Secara istilah syar’I, tauhid berarti mengesakan Allah dalam hal Mencipta, Menguasai, Mengatur dan mengikhlaskan (memurnikan) peribadahan hanya kepada-Nya, meninggalkan penyembahan kepada selain-Nya serta menetapkan Asmaul Husna (nama-nama yang Bagus) dan Shifat Al-Ulya (sifat-sifat yang Tinggi) bagi-Nya dan mensucikan-Nya dari kekurangan dan cacat. Mengakui dari hatinya, lisannya serta perbuatannya. Tauhid juga merupakan pemurnian ibadah kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut pada-Nya.
Ternyata kita dapati para ulama terdahulu jauh sebelum Ibnu Taimiyyah telah membagi tauhid menjadi tiga. Hal ini jelas membantah pernyataan bahwa pembagian tauhid menjadi tiga adalah kreasi Ibnu Taimiyyah rahimahullah di abad ke-8 hijriyah. Syaikh Abdurrozaq hafizulloh telah menukil perkataan para ulama salaf jauh sebelum Ibnu Taimiyyah yang membagi tauhid menjadi tiga. Diantara para ulama tersebut adalah:
Al-Imam Abu Abdillah ‘Ubaidillah bin Muhammad bin Batthoh Al-‘Akburi yang wafat pada tahun 387 H, dalam kitabnya “Al-Ibaanah”.
Al-Imam Abu Yusuf yang wafat pada tahun 395 H dalam kitabnya “At-Tauhid”.
Al-Imam Abu Yusuf yang wafat pada tahun 182 H. Secara bahasa, Rububiyyah berasal dari kata Rabb. Kata Rabb digunakan dengan penggunaan yang hakiki dan juga digunakan untuk yang lain secara majazi atau idhafi, dan tidak untuk yang lain. Makna majazi diambil dari kata majaz yaitu kata yang digunakan pada makna yang bukan makna aslinya. Sedangkan idhafi disini maksudnya yaitu menerangkan makna kata dari “Rabb” bahwa kata Rabb itu kata yang benar dan nyata untuk idhafi. Dari beberapa arti kata rabb tersebut dibentuk kata rububiyyah, yang berarti Mencipta, memberi rezeki, memiliki, menguasai, mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Dan karena Allah adalah Rabb yang hak bagi semesta alam, maka Dia sajalah yang khusus dengan ketuhanan tanpa yang lain, wajib mengesakan-Nya dalam ketuhanan, dan tidak menerima adanya sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan, yaitu sifat ketuhanan tidak mungkin ada pada yang lain dari makhluk-Nya.
Secara istilah, Tauhid Rububiyyah ialah suatu kepercayaan, bahwa yang diciptakan alam dunia beserta seisinya ini, hanya Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada, tidak berada dengan sendirinya tetapi ada yang menciptakan dan ada pula yang menjadikan yaitu Allah SWT. Allah Mahakuat, tiada kekuatan yang menyamai af’al Allah. Maka timbullah kesabaran bagi makhluk, untuk meng-agungkan Allah, makhluk harus bertuhan hanya kepada Allah, tidak kepada yang lain. Maka keyakinan inilah yang disebut Tauhid Rububiyyah. Jadi Tauhid Rububiyyah ialah Tauhid yang berhubungan dengan soal-soal ketuhanan. Dengan kata lain, Tauhid Rububiyyah ialah meyakini bahwa tidak ada yang membuat, mengurus, dan mengatur semua makhluk ini selain Allah SWT[2].
Prof. Dr. Syeikh Mahmud Shalut menyebutkan dalam bukunya bahwa tauhid rububiyah dengan pengertian, hanya Allah yang menciptkan, mengurus dan mengendalikan alam semesta ini[3]
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan mengadakan gelap dan terang.” (Al-An’am:1)
Maka usaha pertama dalam mengi’tiqadkan Allah dengan sempurna dan mendalam, ialah dengan memahami isi Al-Qur’an. Dalam memahami Al-Qur’an terdapatlah petunjuk-petunjuk yang menyatakan agar kita memahami isi alam sekitarnya. Memahami alam ini adalah dengan melihat secara langsung akan makhluk Allah, lalu menumbulkan keyakinan akan penciptanya, Allah Yang Maha Besar.
Sangat jelas bahwa yang dimaksud dengan tauhid bukanlah semata-mata mengetahui bahwa Allah swt yang menciptkan alam semesta. Iblis sudah mengetahui ke-Esaan Allah jauh sebelum manusia diciptakan dan sebelum nabi dan rasul diutus. Ternyata sekalipun iblis sudah mengetahui ke-Esaan Allah sebagai pencipta, iblis tetap dicap sebagai makhluk yang tidak bertauid atau kufur (Q.S. al-Baqarah: 34). Begitu pun kaum musyrikin Arab juga mengetahui bahwa hanya Allah semata pencipta segala sesuatu, namun demikian mereka tetap saja musyrik (tidak bertauhid)[4]
Kita telah mengetahui bahwa Allah itu Maha Pencipta. Tapi apakah kita tahu mengapa Allah menciptakan malaikat padahal Allah itu juga Mahakuasa. Allah menciptakan malaikat bukan hanya sekedar pelengkap saja, atau bukan sebagai pembantu Allah karena Allah kualahan dalam tugas. Misalnya saja malaikat Jibril yang bertugas menyampaikan wahyu kepada nabi dan rasul. Jika Allah yang secara langsung turun ke bumi untuk menyampaikan kepada nabi dan rasul, maka manusia tidak akan sanggup melihat Allah secara langsung. Karena Allah itu Maha Sempurna.
Secara Bahasa, Uluhiyah kata nisbat dari Al Illah, yang berarti Tuhan yang wajib ada, yaitu Allah, sedangkan Uluhiyah berati Mengakui dan meyakini allah sebagai satu-satunya Tuhan. Secara istilah, Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah dengan segala yang disyariatkan-Nya, agar kita beribadah kepada Allah dengan amal-amal hati dan anggota badan dan tanpa mempersekutukan Allah dengan apa pun dalam ibadah-ibadah itu dan tidak baik mengakui adanya ibadah selain kepada Allah. Segala macam ibadah yang lahir dan yang batin, yang berupa perkataan dan perbuatan, dan meniadakan peribadatan dari segala sesuatu selain Allah apapun wujudnya[5]
Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra’:23)
Apakah yang dinamakan ibadah itu? Ia bukan salat, zakat, puasa dan haji saja. Kalau hanya itu saja ibadat, belum sempurna. Maka yang dinamakan ibadah itu bukan saja yang terhimpun dalam rukun islam yang 5 saja, tetapi seluruh amal perbuatan baik yang dikerjakan hanya karena Allah, dan meninggalkan segala perbuatan buruk hanya karena Allah pula. Inilah yang dinamakan ibadah[6]
Tauhid Uluhiyah dalam beberapa hal dibuktikan dengan memperhatikan Tauhid Rububiyah, yang sudah terang dapat diterima oleh perasaan kemanusiaan dan diakui oleh manusia ketika menghadapi beberapa peristiwa dalam hidup ini[7].
Secara bahasa, Asma’ merupakan jama’ dari kata Ismun yang berati Nama. Sedangkan Shifat merupakan jama’ dari kata Shifatun yang mempunyai makna sifat. Adapun secara istilah, Tauhid Asma’ Wa Shifat ialah suatu keyakinan yang menetapkan al-asma’ulhusna (nama-nama yang terbaik) dan sifat-sifat luhur, dan memperlakukannya sebagaimana ia datang dengan tidak mempersoalkan bagaimananya[8]. Dan meniadakan sekutu baginya dalam asma-asma-Nya, tidak menyerupakan-Nya atau menghilangkan sifat-sifat-Nya.
Dari penjelasan diatas, maka kita dapat menyimpulkan perbedaan dari masing-masing pembagian tauhid yaitu, bahwa yang dimaksud dengan Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dengan amalan dan pernyataan yang tegas bahwa Allah Ta’ala adalah Tuhan, raja, pencipta semua makhluk. Dan Allah-lah yang mengatur dan mengubah keadaan mereka. Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan baik yang zhahir maupun batin. Sedangkan Tauhid Al-Asmaa Wa As-Sifaat adalah mentauhidkan Allah Ta’ala dengan nama dan sifat yang telah Ia tetapkan bagi dirinya dalam Al Qur’an dan hadis. Bertauhid nama dalam sifat Allah ialah dengan cara menetapkan nama dan sifat yang Allah tetapkan bagi dirinya dan menafikan nama dan sifat yang Allah nafikan dari dirinya dengan tanpa tahrif, tanpa ta’thil dan tanpa takyif. Allah SWT berfirman:
Artinya: “Hanya milik Allah nama-nama yang husna, maka memohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya” (Al-A’raf: 180)
Ada sepuluh prinsip dasar untuk mengetahui Dzat Allah dan bahwa Allah SWT Maha Esa, yakni sebagai berikut:
- Pertama, Mengetahui Wujud Allah SWT. Wujud yaitu kita mempercayai bahwa Allah itu ada.
- Kedua, Mengetahui bahwa Allah SWTadalah bersifat Qadim.Ketiga, Mengetahui bahwa Allah SWT bersifat Azali dan Abadi.
- Keempat, Mengetahui bahwa Allah SWT bukanlah jauhar (elemen) yang memihak suatu tempat, tetapi Dia Maha Tinggi dan Maha suci dari segala bentuk keberpihakan.
- Kelima, Mengetahui bahwa Allah SWT bukanlah jisim (corporeal) yang terdiri dari elemen-elemen, karena memang jisim itu adalah sesuatu yang terdiri dari elemen-elemen.
- Keenam, Mengetahui bahwa Allah SWT bukanlah ‘aradh atau sifat yang ada pada jisim atau bertempat pada suatu tempat, karena ‘aradh adalah sifat yang berada pada jisim.
- Ketujuh, Mengetahui bahwa Dzat Allah SWT suci dari ciri keterkaitan dengan arah.
- Kedelapan, Mengetahui bahwa Allah SWT bersemayam di atas Arasy-Nya, sesuai dengan makna yang dikehendaki-Nya, yaitu yang tidak menghilangkan sifat Keagungan dan tidak mengarah kepada ciri-ciri makhluk dan kefanaan (sirna).
- Kesembilan, Mengetahui bahwa Allah SWT disamping Dia tersucikan dari bentuk dan ukuran, tersucikan dari arah dan jangkauan lokasi, namun nanti di akhiran Dia dapat dilihat dengan mata.
- Kesepuluh, Mengetahui bahwa Alah SWT Esa tidak ada sekutu bagi-Nya. Dia mandiri dalam mencipta dan mengadakan segala sesuatu yang ada dalam alam, tak ada yang menyamai dan menandingi-Nya.
- Pertama, Mengetahui bahwa Pencipta alam adalah benar-benar Mahakuasa.
- Kedua, Mengetahui bahwa Allah SWT Maha mengetahui.
- Ketiga, Mengetahui bahwa Allah Azza wa Jalla Mahahidup
- Keempat, Mengetahui bahwa Allah SWT berkehendak terhadap segala Perbuatan-Nya.
- Kelima, Mengetahui bahwa Allah SWR Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
- Keenam, Bahwa Allah SWT Maha Berbicara dengan Sifat Kalam-Nya.
- Ketujuh, Bahwa Allah SWT itu secara esensial adalah Qadim,
- Kedelapan, Bahwa Ilmu-Nya adalah Qadim
- Kesembilan, Bahwa sifat Iradat (kehendak) Allah adalah Qadim.
- Kesepuluh, Allah swt Maha Mengetahui dengan sifat Ilmu, Mahahidup dengan sifat Hayyun, Mahakuasa dengan sifat Qudrat, Maha Berkehendak dengan sifat Iradat, Maha Berbicara dengan sifat Kalam, Maha Mendengar dengan sifat Sama’, Maha Melihat dengan sifat Bashar.
Tauhid artinya menjadikan sesuatu satu/tunggal/esa (menganggap sesuatu esa), tidak bersekutu, berbilang, berbagi, dan tidak terdiri dua, tiga bagian atau lebih. Meyakinkan bahwa Allah adalah “satu” dan tidak ada yang menyerupai-Nya. Tauhid juga merupakan pemurnian ibadah kepada Allah, dengan mentaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya dengan penuh rasa rendah diri, cinta, harap dan takut pada-Nya.
Tauhid terbagi atas 3 macam yaitu: Tauhid Rububiyyah ialah suatu kepercayaan, bahwa yang diciptakan alam dunia beserta seisinya ini, hanya Allah sendiri tanpa bantuan siapapun. Dunia ini ada, tidak berada dengan sendirinya tetapi ada yang menciptakan dan ada pula yang menjadikan yaitu Allah SWT. Tauhid Uluhiyah adalah mengesakan Allah dalam ibadah dengan segala yang disyariatkan-Nya, agar kita beribadah kepada Allah dengan amal-amal hati dan anggota badan dan tanpa mempersekutukan Allah dengan apa pun dalam ibadah-ibadah itu dan tidak baik mengakui adanya ibadah selain kepada Allah. Tauhid Asma’ Wa Shifat ialah suatu keyakinan yang menetapkan al-asma’ul husna (nama-nama yang terbaik) dan sifat-sifat luhur, dan memperlakukannya sebagaimana ia datang dengan tidak mempersoalkan bagaimananya dan meniadakan sekutu baginya dalam asma-asma-Nya, tidak menyerupakan-Nya atau menghilangkan sifat-sifat-Nya.
Setelah pembahasan makalah ini, diharapkan kepada kita semua dapat memahami Tauhid, sehingga dapat mengenal Allah SWT serta dapat mengamalkannya dengan ibadah dan pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari.Dengan mengenal Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan yang patut disembah, kita akan terhindar dari perbuatan syirik.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang dilindungi Allah SWT dari perbuatan syirik yang mengantar kita ke neraka jahannam. Amin.