STASIUN TERAKHIR TEMPAT MEMBAHAS ILMU DUNIA, PERATURAN SERTA BERBAGAI NASEHAT DALAM MENGHADAPI PERSOALAN HIDUP DI BERBAGAI ALAM

Minggu, 17 Februari 2013

METODE KRITIK HADITS

Metode Kritik Sanad Dan Matan Hadis
Mengetahui kualitas hadis, sebagai sumber kedua ajaran islam setelah al-quran adalah sangat penting, mengingat hadis tidak seluruhnya terhimpun dan tertulis pada masa rasulullah, penulisan hadis secara resmi baru diadakan pada masa ‘umar bin abdul aziz. Akan tetapi bukan berarti tidak ada penulisan hadis sebelumnya, diantara para sahabat dan tabi’in banyak yang menuliskan hadis, tetapi hanya untuk pribadi mereka masing-masing, pada umumnya mereka berpegang teguh dengan mengandalkan system hafalan bukan dengan tulisan. Seiring dengan tunbuhnya berbagai aliran dalam islam terutama pada masa pemerintahan ‘ali ibn abi talib, maka muncullah pemalsuan hadis dengan berbagai motif, baik dari kalangan umat islam sendiri maupun dari kalangan non muslim.
Dalam upaya menyelamatkan dan menjaga kemurnian ajaran islam dari perbuatan orang tidak bertanggung jawab, para ulama mengadakan penyeleksian dan penelitian hadis dengan cara menyusun kaedah-kaedah kesahihan sanad hadis. Untuk mendukung penelitian hadis tersebut muncullah pada saat itu beberapa disiplin ilmu seperti rijal al-hadis yang membicarakan tentang biografi para periwayat hadis dan hubungan antara oeriwayat yang satu dengan periwayat yang lainnya dalam meriwayatkan hadis, dan ilmu jarh wa ta’dil yang lebih menekankan kepada pembahasan tentang kualitas pribadi periwayat hadis khususnya dari kekuatan hafalannya, kejujuran, integritas pribadinya terhadap ajaran islam dan berbagai keterangan lainnya yang berhubungan dengan penelitian sanad hadis.   Demikian juga dengan matan hadis, sebagaikandungan atau materi yang dimuat oleh hadis juga sangat ditentukan oleh kualitas sanad, sehingga untuk menilai suatu hadis terlebih dahulu harus mengetahui kualitas sanad kemudian baru diteliti matannya dengan melihat apakah matan tersebut bertentangan dengan al-quran dan hadis yang lebih kuat (mutawatir), pokok-pokok ajaran islam, akal yang sehat, dan fakta sejarah. Apabila bertentangan dengan hal-hal diatas maka matan hadis tersebut tidak dapat diterima/ ditolak, demikian pula sebaliknya.
Dengan demikian dalam meneliti suatu hadis unsure kualitas sanad san matan sangat menentukan kedudukan suatu hadis, oleh sebab itu maka perlu diketahui tentang metode penelitian sanad dan matan.
Dalam meneliti sanad hadis, langkah pertama adalah dengan melakukan takhrij, yaitu penelusuran atau pencarian hadis dalam berbagai kitab yang merupakan sumber asli dari hadis yang bersangkutan, sehingga dengan demikian dapat diketahui kualitas hadis yang diteliti, menurut tahan ada lima metode yang bisa dilakukan dalam mentakhrij hadis hadis, yaitu takhrij melalui pengetahuan suatu lafaz yang menonjol atau yang tidak banyak dipergunakan, dari lafaz-lafaz matan, takhrij melalui pengetahuan tentang topic-topik hadis, takhrij melaluio pengamatan terhadap sifat-sifat khusus pada sanad dan matan.[1]
Menurut M syuhudi ismail metode takhrij hadis ada dua macam yaitu metode takhrij al-hadis bi al-lafz (penelusuran hadis melalui lafaz), metode takhrij al-hadis bi al-maudu’ (pencarian had melalui topic masalah).[2]
Untuk lebih jelasnya berikut ini diuraikan tentang metode-metode diatas dan kitab-kitab yang menggunakan metode tersebut:
1.      Takhrij hadis melalui perawi pertama
Untuk meneliti dengan metode ini syarat utama ialah terlebih dahulu haris mengetahui perawi pertama hadis tersebut, apakah dari sahabat sehingga hadisnya muttasil sampai nabi atau diriwayatkan oleh tabi’in apabila hadis tersebut mursal. Tanpa mengetahui perawi pertama dari hadis yang diteliti maka sulit dilacak tentang keberadaan hadis tersebut, kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah kitab-kitab musnad yaitu kitab yang didalamnya disebut hadis menurut nama sahabat berdasarkan kepada sejarah mereka memeluk agama islam.[3]
2.      Takhrij melaui lafadz pertama matan hadis.
Untuk meneliti hadis dengan metode ini tergantung pada lafaz pertama matan hadis. Seorang peneliti harus terlebih dahulu mengetahui secara pasti lafaz pertama dari hadis yang akan ditakhrij setelah itu baru melihat huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij, kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode-metode ini seperti kitab al-jami’ ash-shagir min hadis al-basyir an-nadzir, karangan as-suyuti, al-jami’ al-azhar min hadis al-nabi al-anwar, oleh al-manawi dll.[4]
3.      Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapan dalam matan.
Metode takhrij dengan system ini tidak membatasi kalimat yang ada pada awal matan saja. Tetapi juga bisa ditengah atau bagian lain dari matan. Takhrij dengan system ini lebih mudah karena asalkan sebagian dari lafaz hadis sudah diketahui dapat dengan mudah diketahui dalam kitab apa hadis tersebut bisa ditemukan. Kitab yang terkenal dengan metode ini aldalah kitab mu’jam al-mufahras li alfaz al-hadis an-Nabawi oleh A.J Wensick dan Muhammad fuad abd al-baqi. Cara penggunaan kamus tersebut pertama menentukan kata kuncinya yaitu kata yang akan dipergunakan sebagai alat untuk mencari hadis, kata tersebut dikembalikan kebentuk dasarnya dan berdasarkan bentuk dasar tersebut dicari kata-kata itu didalam kitab kitab al-mu’jam menurut urutan huruf abjad huruf hijaiyah. Didalam kata tersebut akan ditemukan hadis yang dicari dalam bentuk potongan hadis dan didalam potongan tersebut turut dicantumkan sumber hadis dalam bentuk kode-kode seperti خ  shahih Bukhari, م   shahih muslim,د   sunan abu dawud,ت  sunan al-tirmizi  ن  sunan an-nasai  جه sunan ibnu majah  دى sunan ad-darimi  ط   muwatta’ imam malik  حم  musnad imam ahmad ibnu hanbal.
4.      Takhrij Berdasarkan Tema Hadis
Pencarian maatan hadis berdasarkan topic masalah dapat ditempuh dengan membaca berbagai kitab himpunan kutipan hadis, namun biasanya tidak menunjukkan teks hadis menurut periwayatnya. Oleh karena itu perlu bantuan kamus hadis dengan maudhu’i yaitu kamus miftah kunuz as-sunnah karya A.J. Wensinck yang diterjemahkan dari bahasa inggris kebahasa arab oleh Fuad Al-Baqi kamus tersebut dalam setiap halaman terbagi menjadi tiga kolom, setiap kolom memuat topic, setiap topic biasanya memuat beberapa sub topic, dan setiap sub topic dikemukakan data kitab yang memuat hadis yang bersangkutan.
5.      Takhrij hadis berdasarkan klasifikasi hadis
Metode ini merupakan suatu upaya para ahli hadis untuk mempermudah mengetahui status hadis yang bersangkutan karena hadis yang ditulis telah terklasifikasi seperti hadis qudsi, hadis shahih, hadis mursal dan lain sebagainya. Akan tetapi jumlah hadis yang dimuat berdasarkan hadis ini tidak banyak, maka para peneliti hadis mengalami kesulitan apabika hadis yang dicari tidak ada didalamnya. Kitab-kitab hadis yang berdasarkan metode ini ialah al-azhar al-mutanasirah fi al-akhbar al-mutawatirah karangan as-suyuti , al-ittihafat as-saniyyat fi al-ahadis al-qudsiyyah, oleh madani, al-marasil oleh abu dawud dan kitab-kitab sejenis lainnya.
Langkah kedua setelah mentakhrij ialah i’tibar. I’tibar menurut bahasa ialah peninjauan terhadap berbagai hal dengan maksud untuk dapat diketahui sesuatu yang sejenis.[5]  Menurut istilah ilmu hadis I’tibar adalah menyertakan sanad-sanad yang lain untuk suatu hadis tertentu, yang hadis itu pada bagian sanadnya tampak hanya seorang periwayat saja , dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain tersebut akan dapat diketahuinapakah terdapat periwayat lain ataukah tidak ada untuk bagian sanad dari hadis tersebut.[6]
Dengan dilakukan I’tibar maka akan terlihat dengan jelas jalur sanad secara keseluruhan, nama-nama periwayat serta metode periwayatan yang digunakan setiap perawi, sehingga dari kegiatan I’tibar dapat dilihat ada tidaknya pendukung berupa periwayat yang berstatus muttabi’ ataupun syahid. Untuk mempermudah dan memperjelas proses kegiatan I’tibar dperlukan pembuatan skema untuk seluruh hadis yang akan diteliti dengan mencantumkan jalur seluruh sanad, nama periwayat mulai dari riwayat pertama sampai mukharrijnya atau perawi terakhir, serta lambing-lambang yang digunakan oleh masing-masing periwayatnya sehingga dapat diketahui akurasi lewat lambang-lambang yang dipakai oleh periwayat.
Langkah ketiga adalah meneliti pribadi periwayat dan metode periwayatannya, untuk meneliti hadis apakah hadisnya tidak mutawatir sebagaimana dalam penelitian ini, maka acuan yang dipakai adalah kaidah kesahihan hadis yaitu meliputi kaidah kesahihan sanad dan matan hadis. Para ulama dikalangan mutaqaddimin, yakni ulama hadis sampai abad ketiga hijiriyah belum memberikan defenisi yang jelas tentang criteria hadis sahih tetapi mereka pada umumnya memberikan pernyataan yang bertujuan pada kualitas dan kapasitas periwayat yang diterima maupun yang ditolak seperti imam As-syafi’i beliau memberikan persyaratan untuk hadis ahad yang dapat dijadikan hujjah adalah:
Periwayat itu dapat dipercaya pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur dalam menyampaikan berita, memahami dengan baik hadis yang diriwayatkan, mengetahuiperubahan makna hadis bila terjadi perubahan lafaznya, mampu menyampaikan riwayat hadis secara lafaz sebagaimana yang didengar dan tidak meriwayatkan hadis secara makna, terpelihara hafalannya bila meriwayatkan melalui hafalannya, dan terpelihara catatannya jika meriwayatkan melalui kitabnya, apabila hadis yang diriwayatkan secara berserikat artinya orang lain juga meriwayatkan makna bunyi hadis itu sesuai dengan hadis diriwatkan orang lain, terlepas dari perbuatan penyembunyian cacat (tadlis) meriwayatkan dari orang yang dijumpainya walaupun tidak secara langsung mendengar darinya, rangkaian periwayatannya sampai kepada nabi.[7]
Menurut ahmad Muhammad syakir, ada criteria yang dikemukakan oleh Asy-syafi’I diatas telah mencakup seluruh aspek berkenaan dengan kesahihan hadis. Imam Al-Bukhari juga tidak memberikan defenisi secara tegas tentanag hadis shahih, tetapi dari penjelasan kedua ulama tersebut telah memberikan petunjuk tentag criteria hadis sahih.
Imam al-bukhari adalah orang yang pertama menghimpun hadis hadis-hadis sahih dalam kitabnya Al-Jami’as-sahih yang lebih popular dengan sebutan sahih al-bukhari. Dalam meriwayatkan hadis disamping periwayatannya harus seorang yang siqah artinya orangnya harus adil dan dabit juga harus bersambung sanadnya. Untuk kesinambungan sanad beliau adanya kesezamanan (mu’asharah) dan perjumpaan (liqa’) antara periwayat dengan periwayat terdekat dengan sanad. Menurut imam muslim kesezamanan itu tidak mesti dibuktikan dengan adanya liqa’ antara para periwayat terdekat tetapi cukup dengan kesezamanan antara mereka.[8]
Uraian diatas menunjukkan bahwa para ulama terdahulu telah memberikan rambu-rambu tentang hadis yang dapat dijadikan hujjah, walaupun secara defenitif belum memberikan pengertian yag jelas apa yang disebut hadis sahih. Ibn shalah alah seorang ulama hadis mutaakhhirin yang memiliki bayak pengaruh dikalangan ulama hadis baik sezamannya maupun sesudahnya, memberikan defenisi tentang hadis sahih sebagai beikut:
Artinya : hadis yang bersambung sanadnya yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, dabit, yang diterimanya dari perawi yang sama (kulaitasnya) dengannya sampai kepada akhir sanad, tidak syaz dan tidak ber’illat (cacat).[9]
Hal senada juga disampaikan oleh Mahmud at-tahhan, Defenisi yang dikemukakan oleh ibn as-salah secara substansial tidak berbeda dengan apa yang disampaikan oleh ulama mutaakhirin lainnya seperti Ibn Hajar al-Asqalani, jalal ad-din as-suyuti jamal ad-din al-qasimi , subhi as-salih . ulama mutaakhirin tersebut tersebut secara umum juga mengambil dari criteria –kriteria ulama sebelumnya yaitu mengenai syarat-syarat hadis yang dapat dijadikan hujjah, seperti pendapat Imam Asy-Syafi’I, Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim diatas.
Dari kedua defenisi diatas dapat disimpulkan bahwa suatu hadis dapat dinyatakan sahih apabila memenuhi criteria sebagai berikut:
1.      Sanadnya bersambung
2.      Seluruh perawinya bersifat adil
3.      Seluruh perawinya bersifat dabit
4.      Tidak terdapat kejanggalan (syaz)
5.      Tidak terdapat cacat (‘Illat)
Para ulama memberikan criteria untuk masing masing persyaratan tersebut diatas. M. Syuhudi Isma’il mengatakan bahwa kelima criteria diatas disebut dengan kaidah mayor kesahihan hadis, sedang unsure dari masing-masing criteria disebut dengan kaidah minor kesahihan hadis.[10]
Dibawah ini akan diuraikan tentang masing-masing criteria sanad hadis diatas.
1.      Sanad Bersambung
Bersambung sanad artinya setiap perawi menerima hadis secara langsung dari perawi yang ada diatasnya dari awal sanad sampai akhir sanad dan seterusnya sampai kepada rasulullah. Hadis nabi yang tidak bersambung sanadnya tidak dapat disebut hadis sahih seperti hadis munqati’, mu’adal, mu’allaq, mudallas, dan lain-lain.[11]
Untuk mengetahui bersambung tidaknya sanad, para ulama hadis (para peneliti) harus:
a.       Mencatat semua nama periwayat dalam sanad hadis yang diteliti.
b.      Mempelajari sejarah hidup para periwayat hadis yang diteliti dengan dengan melalui kitab rijal al-hadis dengan tujuan untuk mengetahui apakah periwayat dalam sanad itu dikenal sebagai orang yang adil dan dhabit dan apakah antara periwayat terdapat hubungan kesezamanan pada masa hidupnya dan terjadi hubungan  antara guru dan murid.
c.       Mengadakan penelitian tentang kata-kata yang menghubungkan antara para periwayat dengan periwayat yang terdekat dalam sanad dengan melihat lambang-lambang yang dipakai dalam periwayatannya.
2.      Seluruh periwayat berifat adil
Kata adil dalam bahasa arab yaitu al-‘adl. Menurut bahasa berarti pertengahan (al-I’tidal), lurus (al-istiqamah), condong kepada kebenaran (al-mail ilal al-haqa).[12]. menurut kamus besar bahasa Indonesia, artinya sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak keputusan hakim, berpihak kepada kebenaran, berpegang kepada kebenaran, sepatutnya, tidak sewenag-wenang.[13]
Menurut as-suyuti  seorang perawi dikatakan adil apabila perawi tersebut seorang muslim, balig, berakal, selamat dari hal-hal yang menyebabkan fasiq dan merusak muru’ah.[14]
Menurut Ad-din ‘Itr, seorang dikatakan adil dalam meriwayatkan hadis apabila seorang itu muslim, balig, berakal, taqwa, serta menjaga muru’ah.[15]
M.Ajjaj al-khatibi mengatakan bahwa criteria adil ialah adil dalam mengamalkan agamanya, baik akhlaqnya, selamat dari fasiq, serta menjaga muru’ah.[16]
3.      Seluruh periwayat bersifat dabit.
Dabit menurut bahasa artinya kokoh, kuat, tepat, hafal, dengan sempurna.[17] Sedangkan menurut istilah hadis dhabit ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja dia menghendakinya.[18] Menurut M. ‘Ajjaj Al-al-khatib, dabit ialah perawi sadar secara penuh ketika menerima hadis dan faham tentang apa yang ia dengar dan mampu menghafal sejak ia menerima hadis tersebut sampai pada waktu dia meriwayatkan. Dabit ada kalanya berdasarkan hafalannya atau ingatannya (dabit sadran), dan adakalanya berdasarkan catatannya (dabit kitaban), artinya perawi mampu memelihara catatannya dari kekeliruan terjadi pertukaran, pengurangan apabila ia meriwayatkan dari kitabnya.
Nur ad-din ‘itr mengatakan bahwa dabit menurut ahli hadis ialah perawi tersebut sadar secara penuh, bukan seorang pelupa, hafal apabila meriwayatkan dari hafalannya atau catatannya dan apabila ia meriwayatkan secara makna perawi tersebut mengetahui tentang sesuatu yang dibolehkan diriwayatkan secara makna.[19] Subhi as-sahlih, dabit orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya, dia memahamkannya dengan pemahaman yang mendetail, kemudian ia menghafal dengan sempurna dan dia memiliki kemampuan yang demikian itu sedikitnya sejak dia menyampaikan riwayat tersebut sampai dia menyampaikan riwayat tersebut pada orang lain.[20] Apabila para perawi yang bersangkutan kurang kokoh ingatannya, maka hadis tersebut tidak masuk dalam kategori hadis sahih, tetapi termasuk dalam kategori hasan.
Menurut Muhammad Ajjaj Al-khatibi, metode untuk mengetahui kedabitan seorang perawi adalah dengan cara melihat kesesuaian riwayatnya dengan riwayat perawi lain yang dabit dan dapat dipercaya, walaupun hanya sampai ketingkat makna.[21]Mahmud tahhan menambahkan apabila periwayat sekali-kali menyalahi para perawi yang lain maka hal tersebut tidak berbahaya, artinya perawi tersebut masih dianggap sebagai perawi yang dabit, tetapi apabila sering menyalahi perawi-parawi yang lain, maka tidak dikatakan dabit dan riwayatnya tidak dapat dijadikan hujjah.[22] Menurut Muhammad syuhudi Isma’il, untuk mengetahui kedabitan seorang perawi  selain tersebut diatas juga berdasarkan kesaksian para ahli hadis. Ungkapan kesaksian tentang tentang kulaitas pribadi dan kapasitas intelektual periwayat hadis baik yang bersifat at-ta’dil maupun yang bersifat at-tajrih, ulama kritikus menggambarkannya dengan menggunakan istilah-istilah tertentu, istilah-istila tersebut dikelompokkan dalam peringkat-peringkat tertentu sesuai dengan kualitasnya. Peringkat-peringkat tersebut didalam kitab-kitab ‘ulum al-hadis dikenal dengan istilah Alfaz al-jarh wa at-ta’dil (peringkat-peringkat keterpujian dan ketercelaan periwayat hadis).
Dalam menilai keadilan dan ketajrihan periwayat hadis, para kritikus hadis sering berbeda pendapat dalam memberikan penilaian terhadap seorangperiwayat yang sama. Untuk menyelesaikan pertentangan penilaian tersebut ada tiga pendapat yang berkembang dikalangan para peneliti hadis.
1)      Menurut jumhur ulama, mandahulukan jarh dari pada ta’dil, meskipun yang menta’dil lebih banyak daripada yang menjarh, karena orang yang mentajrih lebih mengetahui apa-apa yang tidak diketahui oleh orang yang menta’dil.
2)      Mendahulukan ta’dil daripada jarh, apabila yang menta’dilkan lebih banyak daripada yang mentajrih, karena dengan banyaknya yang menta’dil dapat mengukuhkan keadaan tersebut ditolak, sebab mereka yang menta’dil meskipun lebih banyak jumlahnya tidak bisa menyanggah pernyataan orang yang mentajrih.
3)      Apabila terjadi kontradisi antara jarh wa at-ta’dil, maka salah satunya tidak bisa didahulukan, maka penilaian dihentikan (tawaquf)sampai ada yang menguatkan (murajih) bagi salah satunya.[23]
4)      Terhindar dari syaz
Syuzuz adalah bentuk mashdar dari kata syaz. Secara bahasa syaz mempunyai beberapa arti yaitu jarang, menyendiri, asing, menyalahi aturan, dan menyalahi orang banyak.[24]
Menurut istilah syaz adalah perawi yang siqah meriwayatkan hadis yang bertentangan denga periwayat yang lebih siqah.[25] Menurut Imam Al-Hakim An-Naisyabury, hadis syaz ialah hadis yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqah, tetapi tidak ada periwayat yang siqah lainnya yang meriwayatkan.[26]
Dari kedua defenisi diatas terlihat adanya perbedaan, menurut at-tahhan hadis baru dikatakan syaz apabila memiliki lebih dari satu sanad, sedang menurut al-hakim hadis baru dikatakan syaz apabila hadis tersebut diriwayatkan oleh seorang perawi yang siqah saja. Menurut Abu Ya’la Al-Khalili hadis syaz adalah hadis yang sanadnya haya satu macam baik periwayatnya siqah maupun tidak bersifat siqah. Apabila periwayatnya tidak siqah maka hadis itu ditolak sebagai hujjah, tetapi jika periwayatnya siqah maka hadis itu dibiarkan (mutawaqqaf) tidak ditolak dan tidak diterima sebagai hujjah.[27]
Akibatnya bila pendapat al-hakim dan khalili yang mengatakan bahwa hadis syaz hanya diriwayatkan oleh seorang saja, maka hadis tersebut dianggap hadis syaz walaupun sanadnya sahih. Untuk mengungkapkan syaz dan ‘illat hadis diperlukan persyaratan-persyaratan yang rumit, mereka harus benar-benar mendalami pengetahuan ilmu hadis. Menurut sebagian ulama dikatakan bahwa penelitian syaz hadis lebih sulit dari pada penelitian ‘illat karena belum ada ulama hadis yang menyusun kitab khusus tentang hadis syaz.
4.      Terhindar dari ‘illat
Menurut bahasa ‘illat artinya cacat atau keburukan.[28] Dalam istilah ahli hadis ‘illat ialah cacat yang tersembunyi atau samar yang dapat merusak kesahihan hadis, yang secara lahir hadis tersebut kelihatannya selamat dari cacat, tetapi ternyata tidak sahih.[29]
Untuk mengetahui ‘illat hadis menurut abi ali ibn al-madini dan khatib al-bagdadi terlebih dahulu sanad yang berkaitan dengan hadis yang diteliti dihimpun kemudian dilihat apakah hadis yang bersangkutan memiliki tawabi’ dan syawahid. Langkah kedua meneliti seluruh rangkaian sanad dan kualitas periwayat dalam sanad itu berdasarkan pendapat para kritikus hadis dan ‘illat hadis.[30]ulama hadis pada umumnya menyatakan ‘illat hadis dalam bentuk: a) sanad yang nampak muttasil dan marfu’ ternyata muttasil tetapi mauquf, b) sanad yang nampak muttasil dan marfu’ ternyata muttasil tetapi mursal, c) terjadi percampuran hadis dengan bagian hadis lain, d) terjadi kesalahan penyebutan periwayat karena ada lebih dari seorang periwayat memiliki kemiripan nama sedangkan kualitasnya tidak sama-sama siqah.[31]
A.    Metode Kritik Matan Hadis
Terhindar dari syaz dan ‘illat disamping sebagai kaidah kesahihan sanad hadis juga merupakan kesahihan matan. Keduanya merupakan unsure utama dalam menilai kesahihan hadis. Sejauh yang penulis pelajari belum ada suatu criteria secara rinci tentang kaidah mayor dalam penelitian matan hadis sebagaimana dalam penelitian sanad hadis. Hal tersebut bukan berarti dalam menilai matan hadis tidak memakai tolok ukur. Pada umumnya dalam menilai matan hadis para ulama secara langsung tanpa melalui tahapan tertentu sebagaimana dalam dalam penelitian sanad hadis misalnya dengan membandingkan dengan dalil-dalil naqli tertentu yang lebih kuat atau relevan. Jadi kegiatan penelitian tidak diklasifikasikan misalnya meneliti kemungkinan adanya syaz dengan criteria-kriteria tertentu kemudian diikuti langkah berikutnya meneliti kemungkinan adanya ‘illat beserta unsure-unsurnya.
Para ulama hadis telah menetapkan tolok ukur penelitian matan, walaupun pada dasarnya hamper sama namun diantara mereka ada perbedaan-perbedaan. Menurut Al-khatib al-bagdadi suatu matan hadis dinyatakan maqbul apabila:1) tidak bertentangan dengan akal sehat, 2) tidak bertentangan dengan ayat-ayat yang muhkam, 3) tidak bertentangan dengan hadis-hadis yang mutawatir, 4) tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama salaf, 5) tidak bertentangan dengan hadis ahad yang kualitasnya lebih kuat.[32] Salah ad-din al-Idlibi mengemukakan bahwa tolok ukur penelitian kesahihan matan ada empat macam yaitu: 1) tidak bertentangan dengan petunjuk al-qur’an, 2) tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, 3) tidak bertentangan dengan akal sehat, indera dan realita sejarah, 4) susunan pernyataannya menunjukka cirri-ciri penuturan Nabi.[33]
Menurut ibn Al-jauzi menetapkan bahwa tolok ukur penelitian matan hadis ada tujuh macam yaitu: 1. Tidak bertentangan dengan al-qur’an, 2) tidak bertentangan dengan hadis yang sudah pasti kesahihannya, 3) tidak bertentagan dengan akal sehat, 4) tidak bertentangan dengan pokok-pokok agamadan dasar-dasar aqidah, 5) tidak bertentangan dengan fakta sejarah, 6) redaksi hadisnya tidak rancu atau mengundang kelemahan, 7) dalalahnya tidak menunjukkan adanya persamaan makhluk dengan al-khaliq.[34]
M. Syuhudi Isma’il merumuskan langkah-langkah metodologi penelitian matan menjadi empat tahap: 1. Menelti matan dengan melihat kualitas sanad, 2. Meneliti susunan lafaz dari berbagai matan yang semakna, 3 meneliti kandungan matan, 4. Menarik suatu kesimpulan.[35]
Adapun dalam skripsi ini penulis memakai teori peneliatian matan sesuai dengan teori al-idlibi.
Tolok ukur kesahihahn matan hadis menurut al-adlibi adalah:
1.      Tidak bertentangan dengan dengan petunjuk al-qur’an
Kesesuaian antara matan hadis dan ayat al-quran menjadi salah satu tolok ukur kesahihan matan. Pertentanagan antara keduanya menunjukkan keda’ifan hadis, oleh karena itu ketike menemukan hadis yang bertentangan dengan al-qur’an maka langkah pertama mengupayakan ta’wil. Apabila tidak, maka langkah kedua bila memungkinkan menjama’kan antara keduanya, tetapi bila tidak dapat dikompromikan (jama’), maka hadis tersebut ditolak untuk dijadikan hujjah.
2.      Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat atau sudah pasti kesahihannya
Apabila kita enolak hadis yang bertentangan dengan hadis yang lebih kuat, maka menurit al-idlibi harus memenuhi dua syarat. 1. Hadis tersebut tidak mungkin bisa untuk dijama’kan, bila dapat dijama’kan maka kita tidak perlu menolak salah ssatu dari keduanya. Apabila tidak bisa dijama’kan, maka hadis tersebut harus ditarjih; 2. Hadis yang lebih kuat tersebut adalah hadis mutawatir.[36]
Berbeda dengan asy-syafi’I beliau memberikan gambaran bahwa kemungkinan matan hadis yang tampak bertentangan mengandung petunjuk bahwa adakalanya bersifat global (mujmal) dan yang stunya bersufat rinci (mufassar), kemungkinan yang satu bersifat umum (‘am) dan yang lainnya bersifat khusus (khas), kemungkinan yang satu bersifat an-naskh (menghapus) dan yang lainnya al-mansukh (dihapus), atau mungkin kedua-duanya menunjukkan boleh diamalkan.
Menurut an-nawawi ada dua metode penyelesaian ta’arud. 1. Bila mungkin dijaa’kan keduanya, maka dalam hal ini wajib mengamalkan keduanya;2.bila tidak mungkin dijamakkan, dan diketahui salah satunya nasikh, maka kita menggunakan nasikh mansukh, tetapi apabila tidak digunakan nasikh mansukh kita mengamalkan yang lebih kuat setelah diadakan tarjih, baik karena sifat-sifat perawi maupun banyaknya perawi yang meriwayatkan.[37]
3.      Tidak bertentangan dengan akal sehat, indra dan realita sejarah.
Akal sehat yang dimaksud dalam hal ini bukanlah hasil pemikiran manusia semata, melainkan akal yang mendapatkan sinar dari al-qur’an dan sunnah nabi.[38]
4.      Susunan lafaz hadis tidak rancu dan menunjukkan cirri-ciri penuturan nabi
Dalam masalah lafadz matan hadis yang dikatakan rancu menurut al-idlibi adakalanya riwayatnya menunjukkan tidak beraturan atau serampangan (mujafah), adakala lafaznya ranju atau lemah (rakakah), ada kalanya lafanya menyerupai ucapan ulama fiqh atau istilah-istilah mutaakhir. Menurut ibnu qayyim lafaz-lafaz yang tidak beraturan merupakan cirri hadis maudu’ yang dimungkinkan mengetahuinya tidak dengan jalan melihat kepada sanad terlebih dahulu.
B.     Sumber Data.
Penelitian ini adalah jenis penelitian campuran yaitu (library research) , yaitu mengambil da mengumpulkan data yang akan diteliti, melalui perpustakaan yang ada hubungannya dengan judul skripsi. Data yang diambil dan dikumpulkan ada dua macam, yaitu data primer dan data skunder.
Data primer yaitu yhadis-hadis yang menyebutkan tentang salat nisfu sya’ban didalam kitab-kitab kumpulan hadis seperti: sunan ibn majah, sunan al-baihaqi dan lain-lain. Data ii diambil dengan metode takhrij, dengan memakai mu’jam al-mufahras li alfaz al-hadis an-nabawi oleh A.J. wensinck dan Muhammad fu’ad abd al-baqi, dan mausu’ah athrafi al-hadisi an-nabawi asy-syarif oleh abu hajjah Muhammad asy-sya’in bayuni zaklul. Metode takhrij yaitu sebagaimana yang dikemukakan oleh at-tahan yang dikutip oleh nawir yuslem:
“Menunjukkan atau mengemukakan letak asal hadis pada sumber-sumber yang asli yang didalamnya dikemukakan hadis itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian manakala diperlukan , dijelaskan kualitas hadis yang bersangkutan”.[39]
Data sekunder yaitu data yang diambil untuk mendukung hadis-hadis tersebut melalui kitab-kitab yang bukan kumpulan hadis, seperti ihya’ ulum ad-din oleh imam ghazali, al-al-masnu’atu fi ahadisi al-maudu’atu oleh imam suyuti, khazinatu al-asrasu al-kubra oleh Muhammad haqqi an-nazili, dan lain-lain.
C.    Analisis Data
Hadis-hadis salat nisfu sya’ban dan puasa nisfu sya’ban penulis kumpulkan melalui metode takhrij akan dianalisis dengan melakukan penelitian kepada perawinya yang dikenal dengan istilah an-naqd fi al-hadisi an- nabawiyah.
An-Naqd yaitu memisahkan hadis-hadis yang sahih dari yang da’if dan menetapkan para perawinya yang siqah dan yang jarh (cacat).
Didalam meneliti dan menganalisis hadis-hadis salat nisfu sya’ban dan puasa nisfu sya’ban ada beberapa tahapan yang akan ditempuh:
1.      I’tibar yaitu kegiatan yang dilakukan untuk melihat jalur sanad secara keseluruhan, nama-nama perawi serta metode periwayatan yang digunakan oleh setiap perawi sehingga dari kegiatan I’tibar  ini dapat dilihat ada atau tidaknya pendukung berupa pweriwayatan yang berststus muttabi’ atau syahid.[40]
Para ahli hadis memberikan satu rumusan yang berbeda-beda untuk meneliti matan hadis, salah ad-din al-idlibi memberikan rumusan sebagai berikut:
1.      Tidak bertentangan dengan petunjuk al-quran
2.      Tidak bertentangan dengan hadis yang lebuh kuat
3.      Tidak bertentangan dengan akal yang sehat, indra dan realita sejarah
4.      Susunan periwayatannya menunjukkan cirri-ciri penuturan nabi[41]
Ibn al-jauzi menetapkan bahwa tolok ukur penelitian matan hadis ada tujuh macam yaitu:
1.      Tidak bertentangan dengan al-qur’an
2.      Tidak bertentangan dengan hadis yang sudah pasti kesahihannya
3.      Tidak bertentangan dengan akal yang sehat
4.      Tidak bertentangan dengan ketentuan pokok agama atau dasar-dasar aqidah
5.      Tidak bertentangan dengan fakta sejarah
6.      Redaksi hadisnya tidak rancu atau mengandung kelemahan
7.      Dalalahnya tidak menunjukkan adanya persamaan antara makhluq dengan al-khaliq.
Kemudian yang terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan yaitu dua kemungkinan sahih atau da’if.




[1] Mahmud at-tahhan, usul aat-takhrij wa dirasah alasnid, cet II (Riyad: maktabah alma’arif 1412 H/1991 M), h. 37-38
[2] M. Syuhudi Ismail, cara praktis mencari hadis (Jakarta : bulan bintang, 1991), h.17
[3] Hasby ash-shiddieqy pokok-pokok ilmu dirayah hadis (Jakarta : bulan bintang, 1976) jilid II, h. 323
[4] Nawir yuslem, ulumul hadis (Jakarta: mutiara sumber widya, 2001), h. 406
[5] M. Shuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta Bulan Bintang, 1992), h.15
[6] Ibid.
[7] Abu ‘abd allah muhammad idris Asy-syafi’I , ar-risalah, ditahqiq dan disyarah oleh ahmad Muhammad syakir (mesir: Mustafa al-babi al-halabi wa auladuh, 1940 M/ 135H), h.370-371.
[8] M. ‘Ajjaj Al-khatibi, Ushul al-hadis,opcit, h 312-313.
[9] Ibn as-salah, ‘ulum al-hadis (madinsh almunawwarah: al-maktabah al-ilmiyah,1966M/1386H), h.10
[10] M. Syuhudi Isma’il. Kaidah kesahihan hadis,op.cit., h. 19
[11] M. ‘Ajjaj Al-Khatibi op.cit., h. 305
[12] Muhammad ibn manzur, lisan al-‘arab (mesir: dar al-misriyah, t.t), jilid XIII, h. 456.
[13] Departemen pendidikan dan kebudayaan, kamus besar bahasa Indonesia, edisi ketiga (Jakarta: balai pustaka,2001), h. 8.
[14] Jalal ad-din abu fadl abd raman  as-suyuti, tadrib ar-rawi fi syarah at-taqrif an-nawawi (Beirut dar al-fikr, 1993 M/1414H), h. 197
[15] Nur ad-Din “itr, Manhaj an-naqd fi ‘ulum  Al-hadis (Beirut: dar al-fikr al-mu’assir, 1997), h.79-80
[16] M. Syuhudi Isma’il. Kaidah kesahihan hadis,op.cit., h. 114
[17] Louis ma’luf, al-munjid fi al-lughah wa al-a’lam (Beirut: dar al-masyriq, 1986), h. 445.
[18] Syam Ad-din Muhammad abd ar-rahman as-sakhawi, fath al-mughis syarh alfiyah al hadis li al-‘iraqi ( madinah al-munawwarah: maktabah as-salafiyah, 1967M/1388 H), juz I, h 18.
[19] Nur ad-din ‘Itr, op. cit., h. 80
[20] Subhi al-salih, ‘ulum al-hadis wa mustalahuh (Beirut:dar al ‘ilmi li al-malayin,1998), h. 128.
[21] M. ‘Ajjaj Al-khatibi, Ushul al-hadis,opcit, h 122
[22] Mahmud at-tahhan, tafsir mustalah al-hadis, op. cit., h. 122
[23] M. Ajjaj Al-khatibi, op.cit. juz V, h.269-270.
[24] Ibn manzur, op.cit, juz V h, 28-29
[25] Mahmud at-tahhan, op.cit., h. 94
[26] M. syuhudi isma’il, kaedah kesahihan sanad hadis, op.cit.,h123.
[27] Ibid, h. 124
[28] Ibn Manzur, op.cit., juz XII, h. 498.
[29] Muhammad at-tahhan, taisir mustalah al-hadis, op. cit., h. 83
[30] M. Syuhudi Isma’il , kaedah kesahihan sanad hadis, op.cit., h 130-131.
[31] Ibid, h. 132
[32] Al-khatib Al-Bagdadi, Al-Kifayah Fi ‘Ilmi Ar-Riwayah, Abdul Halim Muhammad Abd Al-Hakim dan Abd Ar-Rahman (Mesir: Maktabah As-Sa’adah), h. 206-207
[33] Salah ad-din al-idlibi, manhaj Naqd al-matan ‘Ind ulum al-hadis an-nabawi, (Beirut:mansyrat dar al-afak al-jadidah, t.t.), h. 238
[34] Musfir galamullah al-daminiy, maqayis ibn al-jauzi fi naqd mutun as-sunnah min khilali kitabih al maudu’at (Jeddah: dar al-madani, 1984), h. 45-131
[35] M. syuhudi Isma’il  op.cit. h. 141-142
[36] Alidlibi, op.cit. h. 273-274
[37] As-suyuti, op.cit. h. 366-367
[38] Al-idlibi, op.cit. h.304
[39] Nawir yuslem, ulumul hadis, (Jakarta; PT. Mutiara Sumber Widya, 2003). h. 394
[40] Muhammad at-tahhan ushul at-takhrij wa dirasah al-asanid (riyad;maktabah al-ma’rifah t.t.) h.8-10
[41] salah ad-din al-idlibi, munhaj naqd al-matan ‘inda ‘ulama al-hadis an-nabawi (Beirut; munsyurat dar al-afaq al-jadidah 1983M/1403H) h.238

Tidak ada komentar:

Posting Komentar